KOBAR/KALTENG,INFONASIONALNEWS.ONLINE
Fenomena satu kontraktor yang menguasai belasan hingga puluhan paket proyek pemerintah di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) bukan lagi sekadar gosip di kalangan pelaku konstruksi. Ini telah menjadi isu publik yang menggugat,masih adakah keadilan dalam sistem pengadaan kita, atau semuanya sudah berubah menjadi transaksi terselubung?,senin (01/ 09/2025)
Rumor yang berembus tak main-main,untuk mendapatkan proyek, kontraktor konon harus menyetor “fee masuk” sebesar 10 persen dari nilai pekerjaan. Jika ini benar, maka pengadaan bukan lagi proses tender yang bersih dan kompetitif, melainkan pasar gelap yang dikemas dalam kemasan resmi.
Memang, secara teori semua proyek pemerintah dikemas dalam mekanisme lelang terbuka melalui sistem elektronik PBJ (Pengadaan Barang dan Jasa).
Namun dalam praktiknya, teori tersebut seringkali hanya menjadi kamuflase. Prosedur yang tampak transparan itu ternyata bisa disiasati oleh segelintir pihak yang memiliki jaringan kuat dan “akses khusus”. Maka bukan lagi kompetensi yang menjadi penentu, melainkan kedekatan dan kemampuan menyetor “uang muka”.
Sementara itu, dari nara sumber yang di dapatkan dari sejumlah kepala dinas, mereka mengaku hanya "manut" (ikut saja) terhadap sistem yang telah lebih dulu disusun oleh tim atau panitia pembagian proyek tertentu.
Dengan kata lain, distribusi proyek sudah diatur dari awal oleh kelompok tertentu yang memiliki kewenangan informal, sehingga peran dinas teknis dalam pengawasan nyaris tidak signifikan.
Lebih memprihatinkan lagi, dari pengamatan kami dari media ini hingga sejauh ini tidak satu pun anggota DPRD Kobar yang bergeming atas fenomena pembagian proyek yang tidak adil ini.
Pihak legislatif yang seharusnya menjadi corong pengawasan dan menyuarakan kepentingan rakyat, justru tampak bungkam, seolah tidak tahu atau enggan terlibat dalam urusan yang dianggap sensitif.
Tak kalah menggelitik, ada kontraktor yang tercatat mengerjakan 15 hingga 70 paket proyek dalam satu tahun anggaran. Angka ini mengguncang logika. Siapa yang membagi? Atas dasar apa? Dan mengapa pelaku usaha lokal lainnya, yang juga punya legalitas dan pengalaman, justru dikesampingkan?
Ketua BPC Apaksindo Kobar, Kistolani, menyuarakan keresahan itu mengatakan,
"Kami tidak menuduh, tapi mempertanyakan prosesnya,Bagaimana mungkin satu kontraktor bisa mendapatkan proyek sebanyak itu? Ini harus dijelaskan secara terbuka,” tegasnya.
Ketua Apaksindo juga menambahkan,kami tidak mencari kambing hitam,tapi jika keadilan distribusi proyek tidak ditegakkan, maka pembangunan hanya akan dinikmati segelintir pemain besar yang punya akses,bukan oleh masyarakat luas dan kontraktor lokal yang justru tumbuh di daerah sendiri.
Dampaknya nyata,bila proyek dikuasai hanya oleh mereka yang mampu “membayar”, maka kualitas pekerjaan pun terancam karena untuk menutupi biaya fee, bukan tidak mungkin volume pekerjaan dikurangi, kualitas diturunkan, atau spesifikasi diakali,praktik seperti ini bukan hanya merugikan keuangan negara, tapi juga membahayakan keselamatan publik.
Lebih jauh, sistem yang koruptif dan eksklusif akan mematikan kompetisi sehat,kontraktor yang jujur dan profesional akan tersingkir,Ekosistem bisnis menjadi tidak sehat dan Prinsip good governance yang seharusnya menjadi fondasi pengadaan barang dan jasa publik hanya menjadi jargon tanpa makna.
Sudah saatnya pemerintah daerah, Unit Layanan Pengadaan (ULP), Inspektorat, hingga BPKP melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola pengadaan di Kobar. Data-data proyek harus dibuka ke publik. Proses lelang harus transparan, bisa diakses, dan diawasi oleh masyarakat sipil.
Pembangunan bukan semata soal infrastruktur yang berdiri megah, tetapi juga rasa keadilan yang dirasakan oleh para pelaku usaha dan warga lokal. Bila kepercayaan publik terhadap sistem terus luntur, maka pembangunan sebaik apa pun bentuk fisiknya akan kehilangan legitimasi.
Transparansi bukan pilihan, tapi keharusan,atau kita semua akan tenggelam dalam sistem yang hanya menguntungkan mereka yang tahu jalan pintas.(Laila Rusna)